Rumah bisa dibilang sebagai muara akhir dari perjalanan. Kemana pun kita pergi toh kembali jua ke rumah. Segala cerita tertumpah di rumah.
Sama halnya rumah kami yang terletak di Gg. Anggrek Jl. Gejayan Yogyakarta. Di rumah itu, aku menghabiskan masa kanak-kanak, remaja, sampai akhirnya harus melanjutkan perjalanan ke Ibukota. Lokasinya pun bisa dibilang sudah berada di kota Yogyakarta. Perkembangan yang cukup pesat selama 3 tahun terakhir. Banyak cafe, butik, salon, dan segala pusat pertokoan di kawasan Gejayan. Kalau di Jakarta punya Kemang maka Jogja punya Gejayan.
Terbersit kenangan, sewaktu rusuh pada 1998 lalu. Jalan di depan gang sudah dipenuhi tentara yang seakan-akan membentuk pagar. Kala itu jam menunjukkan pukul 18.00. Tidak lama kemudian terdengar tembakan dan banyak orang berlarian.
Kenangan pula ketika, secara tiba-tiba aku merasakan gempa dasyat Mei 2006 lalu. " Kretek, kretek .... ," begitu kira-kira bunyi rumahku. Aku merasa rumah yang kami huni sedari tahun 1980 itu akan ambruk.
Terakhir, di rumah rindang itu pula, aku mengakhiri masa lajangku. Dengan halaman yang luas, kami bisa menggelar doa di halaman. Penuh dengan para tamu.
Setelah 27 tahun. Kami akhirnya pindah rumah. Sedih, haru sekaligus bersyukur.
Keluarga besar di Jogja pindah di sebuah rumah yang lebih kecil di bilangan Kwarasan. Daerah ini terletak sekitar 7 km dari tugu Jogja ke arah Godean. Deket lah dengan Mirota Godean. Itung-itung masing dekat dengan jantung Kota Jogja. Ibuku pun lebih deket untuk pergi ke SMU 4, tempatnya mengajar selama 30 tahun ini.
Hari-hari baru akan kami lewati di Kwarasan. Juga dengan rencana kedatangan " Mikhael Alvaro Karunya Raharjo" di rumah mungil itu. (agriceli/jojo raharjo)
Sama halnya rumah kami yang terletak di Gg. Anggrek Jl. Gejayan Yogyakarta. Di rumah itu, aku menghabiskan masa kanak-kanak, remaja, sampai akhirnya harus melanjutkan perjalanan ke Ibukota. Lokasinya pun bisa dibilang sudah berada di kota Yogyakarta. Perkembangan yang cukup pesat selama 3 tahun terakhir. Banyak cafe, butik, salon, dan segala pusat pertokoan di kawasan Gejayan. Kalau di Jakarta punya Kemang maka Jogja punya Gejayan.
Terbersit kenangan, sewaktu rusuh pada 1998 lalu. Jalan di depan gang sudah dipenuhi tentara yang seakan-akan membentuk pagar. Kala itu jam menunjukkan pukul 18.00. Tidak lama kemudian terdengar tembakan dan banyak orang berlarian.
Kenangan pula ketika, secara tiba-tiba aku merasakan gempa dasyat Mei 2006 lalu. " Kretek, kretek .... ," begitu kira-kira bunyi rumahku. Aku merasa rumah yang kami huni sedari tahun 1980 itu akan ambruk.
Terakhir, di rumah rindang itu pula, aku mengakhiri masa lajangku. Dengan halaman yang luas, kami bisa menggelar doa di halaman. Penuh dengan para tamu.
Setelah 27 tahun. Kami akhirnya pindah rumah. Sedih, haru sekaligus bersyukur.
Keluarga besar di Jogja pindah di sebuah rumah yang lebih kecil di bilangan Kwarasan. Daerah ini terletak sekitar 7 km dari tugu Jogja ke arah Godean. Deket lah dengan Mirota Godean. Itung-itung masing dekat dengan jantung Kota Jogja. Ibuku pun lebih deket untuk pergi ke SMU 4, tempatnya mengajar selama 30 tahun ini.
Hari-hari baru akan kami lewati di Kwarasan. Juga dengan rencana kedatangan " Mikhael Alvaro Karunya Raharjo" di rumah mungil itu. (agriceli/jojo raharjo)